KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT ,karena atas karunia,taufiq
dan hidayah-Nya lah,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pertama penulis dalam mata kuliah
ini, yang alhamdulillah dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya.
Terima
kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya untuk penulis
,namun juga untuk pihak-pihak yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca
makalah ini.
Mengingat
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa,
penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu kritikan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Agar kedepannya
penulis bisa lebih baik lagi. Salah dan khilaf penulis mohon maaf. kepada
Allah, penulis mohon ampun.
Bengkulu, Juni
2016
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................... .... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Masyarakat Pedesaan.............................................................. 2
B.
Ciri-ciri Masyarakat desa........................................................................... 4
C. Masalah-masalah Yang Terdapat Di
Desa................................................ 6
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan................................................................................................ 16
- Saran ......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masyarakat
pedesaan di Indonesia tergolong masyarakat yang sangat jauh tertinggal, hal ini
disebabkan keberedaan wilayah yang jauh dari pusat pembangunan Nasional, bahkan
hampir tidak tersentuh oleh pembangunan Nasional. Beberapa metode dan
pendekatan telah dikembangkan untuk memahami masalah dan membantu merumuskan
kebijakan guna memecahkan masalah pembangunan pedesaan. Sejak tahun 1970an para
pakar banyak yang memanfaatkan metode, pendekatan, dan logika berfikir survei
verifikatif dalam meriset masalah sosial masyarakat pedesaan.
Di Indonesia, pertumbuhan penduduk semakin meningkat, terutama di daerah
perkotaan. Banyak masyarakat desa mencari kehidupan yang lebih baik di
perkotaan. Mereka berfikir bahwa di perkotaan adalah sumber mata pencaharian
terbesar dibandingkan di pedesaan. Mereka juga menganggap bahwa kehidupan di
kota lebih baik daripada di desa. Namun, pada kenyataannya kehidupan di kota
tidak sebaik yang mereka bayangkan. Dalam hal ini penulis akan membahas
dan menjelaskan tentang ruang lingkup perbedaan masyarakat pedesaan dengan
masyarakat kota.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Masyarakat Pedesaan ?
2. Bagaimana Ciri-ciri
Masyarakat desa?
3. Apa Saja Masalah-masalah Yang
Terdapat Di Desa?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Masyarakat Pedesaan.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Ciri-ciri Masyarakat desa.
3. Untuk Mengetahui Apa
Saja Masalah-masalah Yang Terdapat Di Desa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masyarakat Pedesaan
Yang
dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai
berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu
masyarakat pemerintahan tersendiri. Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan
atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat
ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain.
Sedang
menurut Paul H. Landis :Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan
ciri ciri sebagai berikut :[1]
1.
Mempunyai pergaulan hidup yang
saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
2. Ada
pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
3. Cara
berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam
seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan
agraris adalah bersifat sambilan.[2]
Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa
Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan
yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari
berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang
saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa
masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat
dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong
royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral
susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian
desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan
bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan
satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama
ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan
eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa
ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti
mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan
dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga
memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya
sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.[3]
Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek
pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan
pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan
pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan
pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak
tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan
arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun
lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya
peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk
pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para
klebun.
Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang
selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan
pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan
eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.
Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program
yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep
:”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan
oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan
lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.
B.
Ciri-ciri
Masyarakat desa (karakteristik)
Dalam buku
Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons”
menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai
berikut :[4]
1. Afektifitas ada
hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan.
Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan
simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa
pamrih.
2. Orientasi
kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari
Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan
diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus
memperlihatkan keseragaman persamaan.
3. Partikularisme pada
dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk
suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan
sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya
Universalisme)
4. Askripsi yaitu
berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan
suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah
merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawannya
prestasi).
5. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama
dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit.
Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu.
Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa
yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
C.
Masalah-masalah Yang Terdapat Di
Desa
1. Rendahnya tingkat pendidikan
Sarana pendidikan masyarakat di desa
cenderung rendah. Masyarakat di desa umumnya hanya berpendidikan SD, SMP dan
SMA. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum mengetahui seberapa besar
pentingnya pendidikan untuk dirinya. Apabila setelah menyelesaikan pendidikan
hingga SMA atau lebih buruk hanya sampai SD saja orang tua akan menikahkan
anak-anaknya sehingga masa depan pendidikan generasi penerus bangsa menjadi
terputus dan hal ini menyebabkan mereka hanya bergelut pada lingkar kemiskinan
karena minimnya pendidikan.[5]
Rendahnya pendidikan ini juga
menjadi menjadi akar permasalahan bahwa kurangnya inisiatif masyarakat dalam
menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan mereka. Mereka hanya memikirkan
bagaimana caranya agar tetap mempertahankan hidup tanpa memikirkan bagaimana
nasib generasi penerus bangsa di masa yang akan mendatang. Karena minimnya
pendidikan masyarakat hal ini menyebabkan dari seluruh penduduk desa hampir 95%
penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu masalah rendahnya
pendidikan juga menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang dilakukan oleh
penyuluhan.
Oleh karena itu masayarakat harus
ditingkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan memperbaiki sarana
pendidikan, mengadakan penyuluhan pendidikan terhadap masyarakat agar tercipta
generasi penerus yang memiliki pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Minimnya sarana dan
prasarana di pedesaan
Salah satu keterbelakangan yang
dialami daerah pedesaan di Indonesia dapat dilihat dari aspek pembangunan
sarana dan prasarana. Beberapa sarana dan prasarana pokok dan penting di daerah
pedesaan, antara lain :
Salah satu prasarana dan sarana
pokok dan penting untuk membuka isolasi daerah pedesaan dengan daerah lainnya
adalah prasarana transportasi (seperti jalan raya, jembatan, prasarana
transportasi laut, danau, sungai dan udara), dan sarana transportasi (seperti
mobil, sepeda motor, kapal laut, perahu mesin, pesawat udara dan sebagainya).
Ketersediaan parasarana dan sarana transportasi yang memadai akan mendukung
arus orang dan barang yang keluar dan masuk ke daerah pedesaan. Untuk mendorong
peningkatan dinamika masyarakat daerah pedesaan akan arus transportasi orang
dan barang keluar dan masuk dari dan ke daerah pedesaan, diperlukan prasarana
dan sarana transportasi yang memadai.
Menteri Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal, Syaifulah Yusuf, dalam seminar tentang “Strategi Pembangunan
Desa” di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 12 September 2006, mengemukakan bahwa
sekitar 45 persen atau sebanyak 32.379 Desa di Indonesia termasuk dalam
kategori Desa Tertinggal (Ken Yunita, 2006).
Salah satu penyebab daerah pedesaan
masih terisolasi atau tertinggal adalah masih minimnya prasarana dan sarana
transportasi yang membuka akses daerah pedesaan dengan daerah lainnya. Kondisi
prasarana dan sarana transportasi yang minim berkontribusi terhadap
keterbelakangan ekonomi daerah pedesaan. Secara umum, masyarakat daerah
pedesaan menghasilkan jenis produk yang relatif sama, sehingga transaksi jual
beli barang atau produk antar sesama penduduk di suatu desa relatif kecil.
Dalam kondisi prasarana dan sarana transportasi yang minim, produk yang
dihasilkan masyarakat daerah pedesaan sulit untuk diangkut dan dipasarkan ke
daerah lain. Jika dalam kondisi seperti itu, masyarakat daerah pedesaan
menghasilkan produk pertanian dan non pertanian dalam skala besar, maka produk
tersebut tidak dapat diangkut dan dipasarkan ke luar desa dan akan menumpuk di
desa. Penumpukan dalam waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan dan kerugian.
Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi warga masyarakat di daerah
pedesaan. Sebaliknya, hal tersebut akan mendorong sebagian warga masyarakat di
daerah pedesaan untuk merantau atau berpindah ke daerah lain terutama daerah
perkotaan yang dianggap lebih menawarkan masa depan yang lebih baik.[6]
Sebagian dari masyarakat di daerah
pedesaan telah memiliki kesadaran untuk mendidik anak-anaknya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan prasarana pendidikan seperti lembaga
pendidikan dan gedung sekolah di daerah pedesaan relatif terbatas.[7]
Ketersediaan prasarana pendidikan di daerah pedesaan yang masih kurang memadai
dapat terlihat dari terbatasnya jumlah lembaga pendidikan serta kondisi fisik
bangunan sekolah yang kurang representatif (rusak, tidak terawat dengan baik,
kekurangan jumlah ruang kelas dan sebagainya). Selain itu, sarana pendidikan di
daerah pedesaan juga sangat terbatas seperti kurangnya ketersediaan buku-buku
ajar, kondisi kursi dan meja belajar yang seadanya, tidak tersedianya sarana
belajar elektronik, tidak tersedianya alat peraga dan sebagainya. Keterbatasan
prasarana dan sarana pendidikan di daerah pedesaan mendorong sebagian
masyarakat daerah pedesaan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar desa terutama
ke daerah perkotaan. Hal ini turut mendorong laju migrasi penduduk dari daerah
pedesaan ke daerah perkotaan.
3. Terbatasnya lapangan pekerjaan di
pedesaan
Indonesia sebagai negara agraris
sampai saat ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penduduk yang masih
mengandalkan penghasilannya serta menggantungkan harapan hidupnya pada sektor
pertanian. Dominasi sektor pertanian sebagai matapencaharian penduduk dapat
terlihat nyata di daerah pedesaan. Sampai saat ini lapangan kerja yang tersedia
di daerah pedesaan masih didominasi oleh sektor usaha bidang pertanian.
Kegiatan usaha ekonomi produktif di daerah pedesaan masih sangat terbatas ragam
dan jumlahnya, yang cenderung terpaku pada bidang pertanian (agribisnis).
Aktivitas usaha dan matapencaharian
utama masyarakat di daerah pedesaan adalah usaha pengelolaan/ pemanfaatan
sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan
pertanian. Bukan berarti bahwa lapangan kerja di luar sektor pertanian tidak
ada, akan tetapi masih sangat terbatas. Peluang usaha di sektor non-pertanian
belum mendapat sentuhan yang memadai dan belum berkembang dengan baik. Kondisi
ini mendorong sebagian penduduk di daerah pedesaan untuk mencari usaha lain di
luar desanya, sehingga mendorong mereka untuk berhijrah/migrasi dari daerah
pedesaan menuju daerah lain terutama daerah perkotaan. Daerah perkotaan
dianggap memiliki lebih banyak pilihan dan peluang untuk bekerja dan berusaha.
Upaya untuk mendorong dan melepaskan
daerah pedesaan dari berbagai ketertinggalan atau keterbelakangan, maka
pembangunan desa dalam aspek fisik perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah dan komponen masyarakat lainnya. Pembangunan desa dalam aspek fisik,
selanjutnya dalam tulisan ini disebut Pembangunan Desa, merupakan upaya pembangunan
sarana, prasarana dan manusia di daerah pedesaan yang merupakan kebutuhan
masyarakat daerah pedesaan dalam mendukung aktivitas dan kehidupan masyarakat
pedesaan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya
bahwa betapa daerah pedesaan memerlukan adanya ketersediaan prasarana dan
sarana fisik dalam hidup dan kehidupan masyarakat desa. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud
dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak untuk
mengurus kepentingan daerahnya sendiri (dalam istilah modern disebut “hak
otonomi”). Hak otonomi sifatnya sangat luas. Hampir semua hal yang menyangkut
urusan di desa. Hanya saja tingkat materi dan cara pelaksanaan atau
pengerjaannya masih sangat sederhana, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan
desa.
Bercermin dari masa lalu, di era
orde baru pemerintahan bersifat sangat sentralistik yang mengusung konsep
filosofi keseragaman. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan
diseragamkan, diatur dan dikendalikan dari pusat. Sementara bangsa Indonesia
terdiri dari beragam suku bangsa, lebih dari 70.000 buah desa dengan karakter,
budaya dan tradisi yang berbeda satu sama lain. Konsep keseragaman yang diusung
dan dipaksakan pada masa lalu, kini sudah tidak tepat lagi.
Oleh karenanya, konsep pembangunan
desa ke depan tidak dapat dilakukan dengan pola keseragaman.Seiring dengan
perubahan paradigma pemerintahan sentralistik ke paradigma pemerintahan
desentralistik, maka seyogyanya pembangunan desa lebih mengedepankan konsep keanekaragaman
dalam kesatuan dan bukan konsep keseragaman. Pembangunan desa dengan
konsep keanekaragam dalam kesatuan, diharapkan mampu mendorong dinamika
pembangunan desa yang berbasis budaya dan karakteristik lokal yang pada
akhirnya akan memperkaya keragaman nuansa etnik dalam pembangunan bangsa.
Masyarakat dan pemerintah desa diberi kekeluasaan untuk memperkaya warna dan
model pembangunan desanya dengan kekayaan etnik yang mereka miliki. Upaya
tersebut diharpakan akan menumbuhkan dan memupuk partisipasi aktif dan rasa
tanggung jawab masyarakat dalam membangun desa.
Peran pemerintah (pusat dan daerah)
dalam pembangunan desa ditempatkan pada posisi yang tepat. Pemerintah
diharapkan berperan dalam memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan,
pengawasan dan hal-hal yang bersifat bantuan terhadap pembanguan desa. Untuk
kepentingan dan tujuan tertentu, intervensi pemerintah terhadap pembangunan
desa dapat saja dilakukan setelah melalui kajian dan pertimbangan yang matang
dan komprehensif.
Intervensi yang dimaksudkan di sini
adalah turut campur secara aktif dan bertanggungjawab pemerintah dalam proses
pembangunan desa, seperti membuka keterisolasian desa (karena ketiadaan biaya,
desa tidak mampu melepaskan diri dari keterisolasian), membangun fasilitas
jalan, jembatan, gedung sekolah, puskesmas dan sebagainya. Meskipun pemerintah
melakukan intervensi terhadap proses pembangunan fasilitas tertentu di daerah
pedesaan, pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi setempat, jangan sampai
pemerintah mengabaikan keberadaan masyarakat setempat, dan masyarakat jangan
sampai hanya diposisikan sebagai penonton.
Keterlibatan masyarakat sangat
diperlukan dalam pembangunan desa. Karena proses pembangunan desa bukan hanya
sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi proses
pembangunan desa memerlukan waktu yang panjang, banyak pengorbanan, dan
bertalian dengan banyak pihak dalam masyarakat termasuk masyarakat di daerah
pedesaan. Proses pembangunan desa dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan, dan pemeliharaan. Seyogyanya pada semua tahapan pembangunan desa
ini terjadi keterlibatan partisipasi aktif masyarakat daerah pedesaan.
Bertolak dari konsep dan praktik
pembangunan desa pada masa lalu yang bersifat sentralistik. Potensi masyarakat
lokal seringkali dikesampingkan oleh pelaksana di lapangan. Hal ini yang
menyebabkan hasil pembangunan yang telah dilakukan tidak memberikan dampak dan
manfaat yang luas bagi masyarakat. Seringkali terjadi kerusakan bahkan hancur
sebelum usia pakainya habis. Karena tidak muncul kepedulian dan rasa tanggung
jawab pada masyarakat dalam memelihara atau menjaga prasarana dan sarana yang
telah dibangun oleh pemerintah. Meskipun sesungguhnya prasarana dan sarana yang
dibangun oleh pemerintah ditujukan untuk kepentingan masyarakat di daerah
pedesaan itu sendiri.
Sebaliknya, jika suatu proyek
pembangunan prasarana dan sarana yang muncul dari masyarakat daerah pedesaan,
direncanakan, dan dilaksanakan secara bersama oleh masyarakat daerah pedesaan,
maka kepedulian dan rasa memiliki dari masyarakat sangat tinggi. Masyarakat
secara sadar dan tanpa pamrih turut berpartisipasi aktif untuk mensukseskan
pembangunan tersebut. Hal ini berdampak pula pada munculnya rasa tanggung jawab
yang tinggi untuk menjaga keberlangsungan pembangunan dan hasil pembangunannya.
Oleh karena itu, perlu diingat bahwa
pembangunan desa dalam aspek pembangunan fisik, pembangunan prasarana dan
sarana di daerah pedesaan semestinya menempatkan penduduk atau masyarakat desa
sebagai subjek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan menunjukkan bahwa
masyarakat daerah pedesaan berperan sebagai pelaku pembangunan. Sudah
semestinya masyarakat sebagai pelaku pembangunan mengambil posisi untuk
berperan secara aktif dalam proses pembangunan.
4. Rendahnya Kesadaran Petani terhadap
adopsi inovasi pertanian
Karena minimnya pendidikan
masyarakat hal ini menyebabkan penduduk desa hampir 95% penduduk bermata
pencaharian sebagai petani. Selain itu masalah rendahnya pendidikan juga
menjadikan kendala dalam penerapan inovasi yang dilakukan oleh penyuluhan.
Dalam mengelola pertanian mereka hanya menggunakan cara-cara yang mereka
terapkan selama ini secara turun temurun tanpa ada pembaharuan atau inovasi
yang dilakukan untuk meningkatkan hasil tani mereka.
5. Keterbelakangan perekonomian
Jika di daerah perkotaan geliat
perekonomian begitu fenomenal dan pantastis. Sebaliknya, hal yang berbeda
terjadi di daerah pedesaan, dimana geliat perekonomian berjalan lamban dan
hampir tidak menggairahkan. Roda perekonomian di daerah pedesaan didominasi
oleh aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang relatif kurang beragam dan
cenderung monoton pada sektor pertanian (dalam arti luas : perkebunan,
perikanan, petanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, kehutanan, dan
produk turunannya). Kalaupun ada aktivitas di luar sektor pertanian jumlah dan
ragamnya masih relatif sangat terbatas.
Aktivitas perekonomian yang ditekuni
masyarakat di daerah pedesaan tersebut sangat rentan terhadap terjadinya
instabilitas harga. Pada waktu dan musim tertentu produk (terutama produk
pertanian) yang berasal dari daerah pedesaan dapat mencapai harga yang begitu
tinggi dan pantastik.
Namun pada waktu dan musim yang
lain, harga produk pertanian yang berasal dari daerah pedesaan dapat anjlok ke
level harga yang sangat rendah. Begitu rendahnya harga produk pertanian
menyebabkan para petani di daerah pedesaan enggan untuk memanen hasil
pertaniannya, karena biaya panen lebih besar dibandingkan dengan harga jual
produknya. Kondisi seperti ini menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi
petani.
Kondisi seperti ini hampir selalu
terjadi sampai saat ini. Namun demikian, suatu ironi bagi pemerintah, karena
belum dapat memberikan solusi tepat. Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun
2010, cabai mencapai harga di atas Rp.100.000,- per kilogram dan merupakan
harga tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi berbalik terjadi pada bulan-bulan di
awal tahun 2011, dimana harga cabai mengalami penurunan secara drastis.
Beberapa daerah harga cabai mencapai di bawah Rp. 10.000,- per kilogram. Kasus
yang mirip terjadi beberapa tahun sebelumnya, petani tomat mengalami masa-masa
pahit. Harga buah tomat sangat rendah, sehingga biaya produksi jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan harga jual hasil panen tomat. Petani enggan memanen
tomatnya dan lebih memilih untuk membiarkan buah tomat membusuk di kebun atau
melakukan pemusnahan tanaman tomat dan menggantikan dengan tanaman lain yang
berbeda. Kejadian serupa pada produk pertanian lainnya seringkali terjadi dan
menerpa kehidupan para petani di daerah pedesaan.[8]
Meskipun penduduk di daerah pedesaan
mayoritas bermatapencaharian sebagai petani, namun tidak semua petani di daerah
pedesaan memiliki lahan pertanian yang memadai. Banyak diantara mereka memiliki
lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, yang disebut dengan istilah petani
gurem. Lebih ironis lagi, sebagian dari penduduk di daerah pedesaan yang
malah tidak memiliki lahan pertanian garapan sendiri. Mereka berstatus sebagai
petani penyewa, penggarap atau sebagai buruh tani. Petani penyewa adalah para
petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan
menyewa lahan pertanian milik orang lain. Petani penggarap adalah para petani
yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri melainkan menggarap
lahan pertanian milik orang lain dengan sistem bagi hasil atau lainnya. Buruh
tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian garapan milik sendiri
melainkan bekerja sebagai buruh yang menggarap lahan pertanian milik orang lain
dengan memperoleh upah atas pekerjaannya.
6. Prediksi terhadap iklim yang sulit
Varietas tanaman padi yang ditanam
merupakan jenis varietas lokal walaupun kadang bisa juga membudidayakan padi
unggul namun bila musim memungkinkan. Masalah geografi yang terjadi seperti
air, banyak para petani yang mengeluh dengan adanya banjir kiriman dari daerah
pegunungan yang menyebabkan petani gagal panen. Banjir yang datang umumnya
menggenangi tanaman padi yang hanya berumur masih muda sehingga tanaman padi
muda ini tidak dapat bertahan sehingga busuk dan mati.
Dari hal tersebut bahwa petani terus
mengalami kerugian karen banyaknya bibit tanaman yang terbuang padahal untuk
dapat menanam padi petani harus menyemai benih padi yang sudah direndam selama
20 hari barulah bibit dapat ditanam. Namun apabila banjir kiriman yang terjadi
menggenangi tanaman yang sudah berumur cukup lama umumnya tanaman padi masih
bisa bertahan hidup karena tanaman padi sudah mempunyai anakan yang cukup
banyak serta tanaman padi tersebut sudah cukup tinggi. Pada sawah yang lebih
tinggi umumnya tanaman padi bisa bertahan hidup bila dibandingkan dengan
tanaman padi di daerah sawah bawahan. Solusi untuk permasalah banjir ini yaitu
seperti pembuatan irigasi agar dapat menyalurkan air dari sungai agar tidak
meluap langsung ke areal persawahan.
Namun walaupun rencana ini pernah di
ajukan dalam musrembang rencana ini belum dapat dilaksanakan karena memakan
biaya yang jumlah sangat pantastis sehingga pemerintah kabupaten belum sanggup
membangunkan irigasi yang dikehandaki oleh masyarakat. Namun selain pembuatan
irigasi solusi yang lain adalah pembersihan areal sungai-sungai yang mengalami
pendangkalan akibat samapah. Dengan membersihkan areal sungai yang mengalami
pendangkalan maka diharapkan laju jalannya air tidak meluap ke areal
persawahan.
Pindahnya penduduk daerah pedesaan
ke daerah perkotaan didorong oleh kondisi ketertinggalan daerah pedesaan dalam
berbagai aspek kehidupan. Berbagai faktor internal daerah pedesaan yang
mendorong penduduk dari daerah pedesaan untuk berhijrah atau pindah ke daerah
perkotaan, antara lain.
7. Keadaan tanah
Di Indonesia mempunyai tingkat
kesuburan tanah yang berbeda disetiap wilayah. Tingkat kesuburan tanah juga
sangat berpengaruh dalam pembangunan desa, desa yang mempunyai keadaan tanah
yang subur cenderung akan mempengaruhi hasil tani yang akan dihasilkan. Semakin
baik dan banyak hasil tani yang dihasilkan oleh desa tersebut maka akan sangat
mempengaruhi dari pendapatan masayarakat itu sendiri. Semakin besar pendapatan
masyarakat maka pertumbuhan ekonomi didesa tersebut akan semakin baik.
8. Letak wilayah
Letak wilayah desa juga sangat mempengaruhi dari pembangunan
desa itu sendiri. Desa yang yang letak wilayahnya lebih strategis yang dalam
hal ini dekat dengan peradaban kota akan berbeda dengan desa yang letaknya
sulit dijangkau. Desa yang letaknya sulit dijangkau akan cenderung akan
mengalami pembangunan ekonomi yang lambat. Hal ini disebabkan karena sulitnya
akses pemerintah dan dunia luar untuk menjangkaunya. Jadi letak desa yang
strategis juga sangat berpengaruh dalam pembangunan desa itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia
menjalani kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya
sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu
manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya :
“ Wahai manusia! Sungguh Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (
bersosialisasi ).….” (Al-Hujurat :13 ).
Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah
menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita
kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya
itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang
ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini,
kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat ,
mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi
moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan
tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada
lingkungan dimana kita tinggal.
Sehubungan
dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira
fenomena-fenomena yang terjadi yang kita sangka adalah tempat yang aman,
tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan
kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi
masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke
kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan
sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat
sebuah d
Permasalah yang dihadapi dalam pembangunan Desa umumnya berada pada masalah
sturktural dan sosial budaya. Adapun masalah yang dihadapi dalam upaya
pembanguna di Desa yaitu : Masalah
Sosial Budaya, masalah ekonomi dan masalah geografis. Masalah sosial budaya terdiri
dari Rendahnya tingkat pendidikan, Minimnya sarana dan prasarana di pedesaan yaitu
Prasarana dan sarana transportasi, Prasarana dan sarana pendidikan yang kurang
memadai ,Terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan Rendahnya
Kesadaran Petani terhadap adopsi inovasi pertanian.
Masalah ekonimi
terdiri dari Keterbelakangan
perekonomian dan Tidak tersedianya permodalan untuk petani dan Harga
pupuk yang lumayan tinggi. Selain itu masalah geografisnya yaitu prediksi
terhadap iklim yang sulit, keadaan tanah dan letak wilayah.
B.
Saran
Pembangunan
Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa
yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota
tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya
sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok
untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota
maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius.
Problem itu tidak akan menjadi masalah serius
apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa
tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya
investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang
memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya
menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek
kehidupan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu,
Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.
Kosim, H, E.
1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari
Marwanto, 12
November 2006. Jangan bunuh desa kami. Jakarta:Kompas
1994. Sosiologi
3 SMU. Jakarta: Yudistira
Dr.
Ir. Ali Hanapiah Muhi,MP Fenomena
pembangunan desa. Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Jawa
Barat, 2011
Badan Pusat Statistik. Berita Resmi
Statistik (2012). Profil Kemiskinan di
Indonesia September 2011. No.
06/01/Th. XV.
George
Ritzer 2002, Sosiologi Ilmu Pengetahuanberparadigma Ganda , Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada.
Rahardjo,
1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Edisi Pertama, Gadjah
Mada University Press.
Riska dkk.
2007. Makalah Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan. Universitas Indraprasta
Jakarta.
[1]
Ahmadi, Abu,
Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.hal.15
[2]
Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa
Asing Yapari.hal.23
[3]
Marwanto, 12 November 2006. Jangan
bunuh desa kami. Jakarta:Kompas
1994. Sosiologi 3 SMU. Jakarta: Yudistira.hal.49
[4]
Dr.
Ir. Ali Hanapiah Muhi,MP Fenomena
pembangunan desa. Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Jawa
Barat, 2011.hal.22
[5]
Badan Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik
(2012). Profil Kemiskinan di Indonesia
September 2011. No. 06/01/Th. XV.hal.97
[6]
George
Ritzer 2002, Sosiologi Ilmu Pengetahuanberparadigma Ganda , Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada.hal.112
[7]
Rahardjo,
1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Edisi Pertama, Gadjah
Mada University Press.hal.77
[8]
Riska dkk.
2007. Makalah Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan. Universitas Indraprasta
Jakarta.hal.35
No comments:
Post a Comment