KATA
PENGANTAR
Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji
dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT ,karena atas karunia,taufiq
dan hidayah-Nya lah,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pertama penulis dalam mata kuliah
ini, yang alhamdulillah dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya.
Terima
kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya untuk penulis
,namun juga untuk pihak-pihak yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca
makalah ini.
Mengingat
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa,
penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu kritikan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Agar kedepannya
penulis bisa lebih baik lagi.
Salah
dan khilaf penulis mohon maaf. kepada Allah, penulis mohon ampun.
Wassalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bengkulu,
Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.
Tujuan
Pembahasan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Waris Dalam Islam..................................................... 3
B.
Dasar Hukum Waris Islam........................................................................ 4
C.
Syarat Pembagian Waris............................................................................ 12
D.
Rukun Pembagian Waris........................................................................... 13
E.
Hukum Waris
Adat................................................................................... 15
F.
Hukum Kewarisan KUH Perdata............................................................. 22
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan................................................................................................ 27
- Saran ......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian
Hukum Waris Dalam Islam
2. Bagaimana Dasar
Hukum Waris Islam
3. Apa Syarat
Pembagian Waris
4. Bagaimana Rukun
Pembagian Waris
5. Bagaimana Hukum Waris Adat
6. Bagaimana
Hukum Kewarisan KUH Perdata
C.
Tujuan
Penulisan
1. Agar
Mengetahui Pengertian Hukum Waris Dalam Islam
2. Agar
Mengetahui Dasar Hukum Waris Islam
3. Agar
Mengetahui Syarat Pembagian Waris
4. Agar
Mengetahui Rukun Pembagian Waris
5. Agar
Mengetahui Hukum Waris Adat
6. Agar
Mengetahui Hukum Kewarisan KUH Perdata
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Waris Dalam Islam
Hukum kewarisan sering dikenal
dengan istilah faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang
menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam
Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan
akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
Sedangkan hukum kewarisan menurut
fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,
mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan
bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang
berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain
disebut Al-miirats. Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.[1]
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang
meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang
lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga. Dalam redaksi yang lain,
Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap
ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di atas,
Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
B.
Dasar
Hukum Waris Islam
Adapun yang menjadi dasar
pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada
ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu :
- Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
- Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :
“Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.”
- Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :
“Allah
mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari
dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia
(anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan).
- Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
- Surat An-Nisa’ ayat 33
“Dan
untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli
waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka
bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”
- Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya :
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
- Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya :
“Diwajibkan
atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertakwa.”
- Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya :
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf
terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
- Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya :
“Allah
sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;
dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).[2]
Sedangkan pedoman waris menurut
hadits yaitu :[3]
- Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil
Hadits
Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud,
At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan
seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara
perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara
perempuan seperdua.
Datanglah
kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian
ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua,
untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk
saudara perempuan”.
- Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai.[4]
“Seorang
nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang
meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu
untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti
saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar
menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab
pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah
memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak
seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain
kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh
Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan
cucunya”.
- Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta kepada orang lain.”
- Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.”
- Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibn Majah. Wasilah bin Aska’ menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yaitu (1) mewarisi budak lepasannya, (2) anak zinanya, dan (3) mewarisi anak li’annya.”
Pedoman
pelaksanaan hukum waris Islam menurut Ijtihad adalah : Masalah-masalah yang
menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an
atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam
interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat
Islam. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau
diperselisihkan.
Penyebab
timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris
ada cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :[5]
- Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda
- Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal
tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam
hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan
memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa
(wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun
sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan
ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.
Khalifah
Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat
respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan
pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya
belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan
Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam,
karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu
tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.[6]
C.
Unsur-Unsur Hukum Waris
- Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia
dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan
hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang
sebanding, dinamakan waris atau ahli waris. Penggantian hak oleh mereka atas
kekayaan untuk seluruhnya atau untuk bagian yang sebandingnya, membuat mereka
menjadi orang yang memperoleh hak dengan title umum. Maka unsur-unsur yang
mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang
telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
- Ahli Waris
Peraturan
perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang berhak menjadi
ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya.
Undang-undang
telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau
suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang-undang atau ahli waris abintestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama
Golongan
pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta
keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup
paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling lama ini baru
diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri
tidak saling mewarisi.
Bagian golongan pertama yang meliputi anggota
keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya,
janda atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing
memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang
anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta
warisan.
Apabila salah
satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris tetapi
mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian anak yang
seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan ayahnya
yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan
dalam system hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam hukum
waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga masing-masing cucu
memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan
meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu,
maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli
waris).
b. Golongan kedua
Golongan kedua
adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik
laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan
khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari 1/4 bagian dari
harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris. Oleh
karena itu, bila terdapat tiga orang saudara yang menjadi ahli waris
bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan separuh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-masing memperoleh
1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia maka yang
hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:
1)
½ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia
menjadi ahli waris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun
perempuan sama saja.
2) 1/3 bagian dari
seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang
saudara pewaris.
3) ¼ bagian dari
seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan tiga
orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal
dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai
hali waris golongan kedua yang masih ada. Namun, bila di antara saudara-saudara
yang masih ada itu ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan
pewaris maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah
diperuntukkan bagi saudara seibu.
c. Golongan ketiga
Golongan ketiga
adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas
dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas keluarga dari garis lurus
ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa
batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu, bila
pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan kedua.
Dalam kondisi
seperti ini sebelum harta warisan dibagi terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving),
selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah
pewaris dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari
garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu
harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah, sedangkan
untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada nenek.
Cara
pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk kakek dan nenek
dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek dari garis ibu. Pembagian
itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1):
1) ½ untuk pihak
ayah.
2) ½ untuk pihak
ibu.
d. Golongan
keempat
Ahli waris golongan
keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya
sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu
paman dna bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari
pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si
mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada
ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para
ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya.
Dalam Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan:
“Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada,
maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara, selanjutnya Negara
wajib melunasi utang-utang si peninggal harta warisan sepanjang harta warisan
itu mencukupi. Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli
waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman
dan bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman
dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.[7]
D.
Syarat
Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:
2.
Meninggal
dunianya pewaris
Yang
dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati),
meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri
(menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan
taqdiri adalah sebagai berikut :
a. Mati hakiki, yaitu kematian
seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang
telah meninggal dunia.
b. Mati hukmi, yaitu kematian seseorang
yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah
meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan
hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan
upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan
meninggal dunia.
c. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau
perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang
diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata
tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang
tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
Tanpa
ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan
kepada ahli waris.
3. Hidupnya ahli waris
Hidupnya
ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan
pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu,
sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.
4. Mengetahui status kewarisan
Agar
seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan
antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan
hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu.
E.
Rukun
Pembagian Waris
Adapun beberapa rukun pembagian
waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur
tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri.
Hal ini diuraikan sebagai berikut :
1.
Pewaris
(Al-Muwarris)
Pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta
warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus
dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu,
seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak
dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang
kematiannya.
Menurut
sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa
hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewariskan
maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam.
Sedangkan
pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu : “Pewaris adalah orang
yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”
2.
Harta
Warisan (Al Mauuruts)
Harta
warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah
digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.
Harta
warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama
dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah
meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemakaman.
Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga
hak-hak dari pewaris.
Harta
warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta peninggalan menjadi
harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta
warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala
sangkut paut dengan orang lain. Pengertian
harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati secara
mutlak. Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu :[8]
“Harta
warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
3.
Ahli
Waris(Al Waarits)
Ahli
waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau
hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Termasuk
dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan. Meskipun
masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi)
atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Untuk
itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas
minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan
untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
Yang
dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli waris
yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari
ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut.
Sedangkan
pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu :
“Ahli
waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
F.
Hukum Waris Adat
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke
generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas
lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
a. Hak
purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi
pewarisan tanah.
b. Kewajiban dan
hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan
kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal
c. Transaksi-transaksi
seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
d. Struktur
pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi
perkawinan.
e. Perbuatan-perbuatan
hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal
berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan
dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan,
pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum
waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum
watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional,
hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya.
Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada
bedanya.
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris
adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan
pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan
menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih
luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat
adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat
diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang
hukum waris adat.[9]
Ter Haar menyatakan:
“...het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking
hebben op het boeinde, eeuwige proces van doorgeven en overgaan van het
materiele en immateriele vermogen van generatie op generatie.”
“...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”
Dengan demikian
hukum waris itu mengandung tiga
unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang
meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan
meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Soepomo menyatakan :
“ Hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”
Dengan demikian hukum waris iyu memuat
ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan
(berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih
hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana yang
diungkapkan Wirjono:
“...pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah
soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.”
Jadi, warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian
hubungan hukum dalam masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai
akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan
harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan
diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari
kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah
bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada warisnya dapat
dilaksanakan sebelum ia wafat.
Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang
benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum
waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada
kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau
pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau
pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa,
lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau
penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat
tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum
barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa
Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal
ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong
guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan
Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya
patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk
kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas
kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari
sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini
nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan
kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal
itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan
asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.[10]
2. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris
Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH
Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara
pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak
terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang
penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang
berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat
dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak
boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal
ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:[11]
“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta
peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak
berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan.
Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh
waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota
kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam
kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie”
atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris
telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan
sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah
An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga
menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau
kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan
permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan
bermufakat dengan para waris lainnya
3. Sistem Keturunan
Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang
berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum
masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang
berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.Secara
teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
a. Sistem
Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian).
b. Sistem
Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam
pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental
atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua,
atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan lain-lain)
4.
Sistem
Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan)
di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif,
kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan
tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a.
Sistem Kolektif
Apabila para
waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama)
dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian
disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris
tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan
untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam
bauntui”).
Pada umumnya
sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta
pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti
tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak
kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di
Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di
Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak,
Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh
ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
b.
Sistem Mayorat
Apabila harta
pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak
pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua
dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan
wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut
disebut “kewarisan mayorat”. Sistem Individual
Apabila harta
warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”,
yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya
atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan
demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang
banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam
hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum
Waris Islam.[12]
G.
Hukum
Kewarisan KUH Perdata
Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH
Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II
KUH Perdata tentang Benda.
1. Pengertian
Hukum Kewarisan KUHPerdata
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum
memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata.
Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai
berikut :
a. A.
Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : Kumpulan peraturan yng mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh di mati dan akibat dari hubungan antara mereka
dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b. Wirjono
Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengemukakan:
Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturanperaturan yang mengatur
tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentng kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.
c. Dalam
bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut dari ahli
hukum yaitu ;
1) Mr.
Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa : Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan
tentangperpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada
seorang ahli waris atau lebih.
2) A.
Winkler Prins, mengemukakan bahwa : Hukum waris ialah seluruh peraturan yang
mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana
hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada
orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.
3) Vollmar
berpendapat bahwa : Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan
seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajibankewajiban, dari orang yang
mewariskan kepada warisnya.
Menurut Pasal 830 KUH Perdata :
“Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau
warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris
masih hidup saat warisan terbuka.
2. Unsur-unsur
Hukum Kewarisan KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian
kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a. Seorang
peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur
pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan
seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat
lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan berada.
b. Seseorang
atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu . Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus
ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si
peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta
Warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih
kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud
kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan,
dimana peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada.
3. Syarat-syarat
Terjadinya Pewarisan dalam KUH Perdata
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Syarat
yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris
harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830
KUH Perdata. Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1) Matinya
pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan
dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati
2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan,
yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat
dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b. Syarat
yang berhubungan dengan ahli waris Orang-orang yang berhak/ahli waris atas
harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris.
Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1) Hidup
secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat
dibuktikan dengan panca indra.
2) Hidup
secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal
ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
4. Cara
mendapat warisan dalam KUH Perdata
Undang-undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu
warisan yaitu :
a. Secara
ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam Pasal 832 KUH Perdata.
Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak menerima bagian warisan
adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau
isteri yang hidup terlama.
b. Secara
testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat = testamen ), dalam
Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana
para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen.
5. Asas-asas
Hukum Kewarisan KUH Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a. Hanyalah
hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan.
b. Adanya
Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris denga sendirinya secara
otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak
serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas
Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas
Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok
ahli waris.
e. Asas
Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f. Asas
Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup
ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
6. Ahli
Waris Pengganti
Ahli waris pengganti dalam hukum waris Perdata
dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda
Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 s/d 857 dihubungkan dengan
Pasal 860 dan Pasal 866. Adanya pasal-pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa
KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli
waris.
Penggantian memberi hak kepada orang yang
menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala
hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata
umpamanya : seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal
lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. [13]
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan
atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang
telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman
atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu,
meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844).
Bila disamping ayah atau ibu yang masih hidup itu
hanya ada seorang saudara, maka ayah atau ibu itu menerima ½ dan ½ lagi untuk
saudara atau keturunannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Waris adalah perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Adapun
pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
Ahli waris adalah orang-orang
mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal yang
masih mempunyai hubungan darah. Hukum waris adat meliputi aturan-aturan
dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan
harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi
Hukum Perdata
yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk
Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta
kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata
tentang Benda
B.
Saran
Penulis berharap
makalah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh Mahasiswa khususnya para
pembaca agar tergugah untuk terus dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dalam usahanya, dan dapat menambah pengetahuan bagi rekan-rekan
mahasiswa. Demi penyempurnaan makalah ini, Kami mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid,
Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan
Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Amanat, Anisitus, 2000, Membagi
Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Pitlo, MR. A. 1990, Hukum Waris:
Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa.
Suparman, 2005, Eman, Hukum Waris
di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama.
H.Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33,
2000.
H.Sulaiman
Rasjid, 2000, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru
bdul
Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia.
[4] Amanat, Anisitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan
Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[5]
Pitlo, MR. A. 1990, Hukum Waris:
Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa.
[6]
Suparman, 2005, Eman, Hukum Waris
di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama.
[7]
H.Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33,
2000
[8]
H.Sulaiman
Rasjid, 2000, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru
[9]
bdul
Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia.
[10]
Amanat, Anisitus, 2000, Membagi
Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
[11]
Rasjid,
Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
[12]
H.Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33,
2000.
[13]
Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan
Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.