Sunday, June 26, 2016

Hukum Waris




KATA PENGANTAR


Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
            Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT ,karena atas karunia,taufiq dan hidayah-Nya lah,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
            Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pertama penulis dalam mata kuliah ini,  yang alhamdulillah dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
            Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya untuk penulis ,namun juga untuk pihak-pihak yang berkenan meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini.
            Mengingat keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa, penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritikan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Agar kedepannya penulis bisa lebih baik lagi.
            Salah dan khilaf penulis mohon maaf. kepada Allah, penulis mohon ampun. Wassalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Bengkulu,  Juni 2016


Penulis






DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan  Masalah.................................................................................... 2
C.     Tujuan Pembahasan................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Waris Dalam Islam..................................................... 3
B.     Dasar Hukum Waris Islam........................................................................ 4
C.     Syarat Pembagian Waris............................................................................ 12
D.    Rukun Pembagian Waris........................................................................... 13
E.     Hukum Waris Adat................................................................................... 15
F.      Hukum Kewarisan KUH Perdata............................................................. 22

BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan................................................................................................ 27
  2. Saran ......................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
SYARIAT  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Hukum Waris Dalam Islam
2.      Bagaimana Dasar Hukum Waris Islam
3.      Apa Syarat Pembagian Waris
4.      Bagaimana Rukun Pembagian Waris
5.      Bagaimana Hukum Waris Adat
6.      Bagaimana Hukum Kewarisan KUH Perdata



C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar Mengetahui Pengertian Hukum Waris Dalam Islam
2.      Agar Mengetahui Dasar Hukum Waris Islam
3.      Agar Mengetahui Syarat Pembagian Waris
4.      Agar Mengetahui Rukun Pembagian Waris
5.      Agar Mengetahui Hukum Waris Adat
6.      Agar Mengetahui Hukum Kewarisan KUH Perdata





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Waris Dalam Islam
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
Sedangkan hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats. Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.[1]
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga. Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

B.     Dasar Hukum Waris Islam
Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu : 
  1. Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya : 
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan  ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
  1. Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya : 
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
  1. Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya : 
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
  1. Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya 
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah  dibayar hutang-hutangmu.


  1. Surat An-Nisa’ ayat 33 
“Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”
  1. Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya : 
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
  1. Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya : 
“Diwajibkan atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertakwa.”
  1. Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya : 
“Dan  orang-orang  yang  akan meninggal  dunia di  antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
  1. Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya : 
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).[2]
Sedangkan pedoman waris menurut hadits yaitu :[3]
  1. Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil 
Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua.
Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”.
  1. Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai.[4]
“Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”.
  1. Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta kepada orang lain.”
  2. Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.”
  3. Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibn Majah. Wasilah bin Aska’ menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yaitu (1) mewarisi budak lepasannya, (2) anak zinanya, dan (3) mewarisi anak li’annya.”
Pedoman pelaksanaan hukum waris Islam menurut Ijtihad adalah : Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris ada cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :[5]
  1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda 
  2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda. 
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.
Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.[6]



C.    Unsur-Unsur Hukum Waris
  1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan waris atau ahli waris. Penggantian hak oleh mereka atas kekayaan untuk seluruhnya atau untuk bagian yang sebandingnya, membuat mereka menjadi orang yang memperoleh hak dengan title umum. Maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
  1. Ahli Waris
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris abintestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a.       Golongan pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak saling mewarisi.
 Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.
Apabila salah satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan dalam system hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu, maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli waris).
b.      Golongan kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:
1)      ½ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
2)      1/3 bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
3)      ¼ bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai hali waris golongan kedua yang masih ada. Namun, bila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi saudara seibu.
c.       Golongan ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan kedua.
Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah, sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada nenek.
Cara pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk kakek dan nenek dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek dari garis ibu. Pembagian itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1):
1)      ½ untuk pihak ayah.
2)      ½ untuk pihak ibu.
d.      Golongan keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya.
Dalam Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara, selanjutnya Negara wajib melunasi utang-utang si peninggal harta warisan sepanjang harta warisan itu mencukupi. Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.[7]

D.    Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:
2.      Meninggal dunianya pewaris 
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki  (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut : 
a.       Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b.      Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.
c.       Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris.
3.      Hidupnya ahli waris 
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh  pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.
4.      Mengetahui status kewarisan 
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu.

E.     Rukun Pembagian Waris
Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut :
1.      Pewaris (Al-Muwarris)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.
Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam.
Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu : “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”
2.      Harta Warisan (Al Mauuruts)
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.
Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris.
Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain.  Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati secara mutlak. Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu :[8]
“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
3.      Ahli Waris(Al Waarits)
Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut.
Sedangkan pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu :
“Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

F.     Hukum Waris Adat
1.      Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
a.       Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
b.      Kewajiban dan hak yang timbul  dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal
c.       Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
d.      Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
e.       Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.[9]
Ter Haar menyatakan:
“...het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het boeinde, eeuwige proces van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen van generatie op generatie.”
“...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”
Dengan demikian  hukum waris  itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Soepomo menyatakan :
“ Hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”
Dengan demikian hukum waris iyu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana yang diungkapkan Wirjono:
“...pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”
Jadi, warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.
Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.[10]
2.      Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:[11]
“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat  digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya
3.      Sistem Keturunan
Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut  berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
a.       Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b.      Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
c.       Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain)
4.      Sistem Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a.       Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”).
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
b.      Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.[12]

G.    Hukum Kewarisan KUH Perdata
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda.
1.      Pengertian Hukum Kewarisan KUHPerdata
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :
a.       A. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh di mati dan akibat dari hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b.      Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengemukakan: Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturanperaturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
c.       Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut dari ahli hukum yaitu ;
1)      Mr. Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa : Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentangperpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.
2)      A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa : Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.
3)      Vollmar berpendapat bahwa : Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajibankewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.
Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
2.      Unsur-unsur Hukum Kewarisan KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a.       Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan berada.
b.       Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu . Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c.       Harta Warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada.
3.      Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan dalam KUH Perdata
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a.       Syarat yang berhubungan dengan pewaris Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata. Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1)      Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati
2)       Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b.      Syarat yang berhubungan dengan ahli waris Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1)      Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2)      Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
4.      Cara mendapat warisan dalam KUH Perdata
Undang-undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu :
a.       Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam Pasal 832 KUH Perdata. Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
b.      Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat = testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen.
5.      Asas-asas Hukum Kewarisan KUH Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a.       Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b.      Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris denga sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c.       Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d.      Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e.       Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f.       Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
6.      Ahli Waris Pengganti
Ahli waris pengganti dalam hukum waris Perdata dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 s/d 857 dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866. Adanya pasal-pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata umpamanya : seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. [13]
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844).
Bila disamping ayah atau ibu yang masih hidup itu hanya ada seorang saudara, maka ayah atau ibu itu menerima ½ dan ½ lagi untuk saudara atau keturunannya.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah. Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda

B.     Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh Mahasiswa khususnya para pembaca agar tergugah untuk terus dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam usahanya, dan dapat menambah pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa. Demi penyempurnaan makalah ini, Kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.



DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Amanat, Anisitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Pitlo, MR. A. 1990, Hukum Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa.

Suparman, 2005, Eman, Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama.

H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000.

H.Sulaiman Rasjid, 2000, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru

bdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia.



[1] Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.hal. 36
[2] Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

[4] Amanat, Anisitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

[5] Pitlo, MR. A. 1990, Hukum Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa.
[6] Suparman, 2005, Eman, Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama.
[7] H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000
[8] H.Sulaiman Rasjid, 2000, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru
[9] bdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia.
[10] Amanat, Anisitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[11] Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
[12] H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000.

[13] Ali, Zainuddin, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.